5 Kriteria Keringanan Puasa Ramadhan Sesuai Al-Qur'an Dan Hadis
Salah satu bentuk ibadah wajib dalam Islam ialah puasa, yang dalam bahasa arab disebut "shaum" atau "shiyam", yakni "menahan diri". Dalam kitab-kitab fiqih, puasa didefinisikan sebagai;
Puasa tidak hanya diwajibkan kepada Nabi Muhammad saw. dan umatnya, namun juga diwajibkan kepada para Nabi sebelumnya. Karena itu syariat puasa juga menjadi syariat para Nabi dan umat-umat terdahulu. Hanya saja dalam pelaksanaannya terdapat perbedaan-perbedaan. Firman Allah:
Puasa Ramadhan mulai disyariatkan/diwajibkan oleh Allah SWT pada tanggal 10 Sya'ban tahun ke-2 Hijriyah.
Silahkan baca juga 4 Dasar Problematika Puasa Ramadhan yang biasanya kerap sekali muncul setiap tahun menjelang puasa.
Kewajiban melaksanakan ibadah puasa di bulan Ramadhan berlaku bagi setiap muslim yang Mukallaf, yaitu muslim yang sudah remaja (baligh) dan cendekia sehat ('aqil). Akan tetapi ada beberapa orang yang menerima keringanan (keringanan) boleh tidak berpuasa, dengan ketentuan;
Bagi orang yang sedang sakit dan orang yang sedang dalam perjalanan (bepergian), diperbolehkan tidak berpuasa selama sakit atau selama berpergian dan wajib qadla (mengganti puasa sebanyak hari yang ditinggalkan pada hari-hari lain). Dasarnya ialah firman Allah;
*Para fuqaha (ulama andal fiqih) menjelaskan persoalan ini secara rinci dalam kitab-kitab mereka. Di antaranya Imam Jalaludin Al-Mahalli menuturkan:
Penjelasan serupa juga disampaikan oleh Syekh Muhammad Khatib As-Syarbini dalam kitabnya Mughnil Muhtaj. Hanya saja ia menambahkan penjelasan:
Catatan: (rujukan http://www.nu.or.id/post/read/78797/aturan-fiqih-tidak-berpuasa-bagi-musafir)
Bagi orang yang kondisi badannya lemah dan menimbulkan ia mengalami kesulitan berat bila berpuasa, baik karena usia lanjut atau penyakit yang tidak ada keinginan akan sembuh, diperbolehkan tidak berpuasa dan tidak wajib qadla, tetapi wajib membayar fidyah*. Dasarnya firman Allah;
*Al Muntaqo min Fatawa Syaikh Sholih Al Fauzan, 3/140. Dinukil dari Fatwa Al Islam Sual wa Jawab no. 66886. Mengatakan, “Mengeluarkan fidyah tidak sanggup digantikan dengan uang. Fidyah hanya boleh dengan menyerahkan kuliner yang menjadi kuliner pokok di kawasan tersebut. Kadarnya ialah setengah sho’ dari kuliner pokok yang ada yang dikeluarkan bagi setiap hari yang ditinggalkan. Setengah sho’ kira-kira 1½ kg. Jadi, tetap harus menyerahkan berupa kuliner sebagaimana ukuran yang kami sebut. Sehingga sama sekali tidak boleh dengan uang. Karena Allah Ta’ala berfirman (yang artinya), “Membayar fidyah dengan memberi makan pada orang miskin.” Dalam ayat ini sangat terang memerintah dengan makanan.”
Ulama Malikiyah dan Syafi’iyah beropini bahwa kadar fidyah ialah 1 mud bagi setiap hari tidak berpuasa. Ini juga yang dipilih oleh Thowus, Sa’id bin Jubair, Ats Tsauri dan Al Auza’i. Sedangkan ulama Hanafiyah beropini bahwa kadar fidyah yang wajib ialah dengan 1 sho’ kurma, atau 1 sho’ sya’ir (gandum) atau ½ sho’ hithoh (biji gandum). Ini dikeluarkan masing-masing untuk satu hari puasa yang ditinggalkan dan nantinya diberi makan untuk orang miskin.
Beberapa ulama belakangan menyerupai Syaikh Ibnu Baz, Syaikh Sholih Al Fauzan dan Al Lajnah Ad Daimah lil Buhuts Al ‘Ilmiyyah wal Ifta’ (Komisi Fatwa Saudi Arabia) menyampaikan bahwa ukuran fidyah ialah setengah sho’ dari kuliner pokok di negeri masing-masing (baik dengan kurma, beras dan lainnya). Mereka mendasari ukuran ini berdasarkan pada anutan beberapa sobat di antaranya Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma. Ukuran 1 sho’ sama dengan 4 mud. Satu sho’ kira-kira 3 kg. Setengah sho’ kira-kira 1½ kg.
Catatan: (rujukan https://rumaysho.com/1140-cara-pembayaran-fidyah-puasa.html)
Bagi perempuan yang sedang dalam keadaan haid (menstruasi) dan melahirkan (nifas), dihentikan (haram) berpuasa dan wajib qadla. Pemberian keringanan tersebut sanggup dimaklumi, karena secara fisik, keduanya tengah mengalami gangguan. Fisik keduanya cenderung lemah, bahkan tidak jarang disertai keluhan berupa rasa sakit dan mual. dasarnya ialah hadis nabi s.a.w.;
Bagi perempuan yang sedang hamil dan menyusui (murdli') boleh tidak berpuasa, karena bila terus berpuasa malah membahayakan diri sendiri atau anaknya. Perempuan yang sedang mengandung dan menyusui membutuhkan gizi yang cukup. Kekurangan kuliner dan minuman selama berpuasa sanggup mengurangi kadar gizi atau air susu ibu yang dibutuhkan dan akan membawa akhir kurang baik bagi pertumbuhan janin atau anaknya.
Bagi perempuan yang sedang hamil dan menyusui boleh tidak berpuasa, tetapi wajib qadla, demikian itu apabila alasan tidak berpuasa karena menghawatirkan dirinya dan anaknya. Akan tetapi bila berbukanya karena menghawatirkan janin atau anaknya saja, maka selain mengqadla, juga harus membayar fidyah (memberi makan fakir miskin setiap hari 3/4 liter beras).
*Para ulama berbeda pendapat dalam persoalan ini, secara garis besar ada empat pandangan:
Dalil pendapat pertama ialah meng-qiyas-kan perempuan hamil dan atau menyusui dengan orang sakit. Orang sakit boleh tidak puasa dan harus meng-qadha (mengganti) di hari lain sebagaimana terang dalam Al-Qur`an surah Al-Baqarah ayat 184 dan 185.
Dalil pendapat kedua ialah anutan dua orang sobat Nabi SAW, terutama bagi madzhab yang menganggap bahwa anutan sobat itu menjadi salah satu dasar aturan bila tidak ada nash yang sharih.
Riwayat Ibnu Abbas sanggup ditemukan dalam Sunan Ad-Daraquthni, Tafsir Ath-Thabari dan lain-lain. Ibnu Abbas berkata, ”Bila seorang perempuan hamil khawatir akan dirinya dan perempuan menyusui khawatir akan bayinya di bulan Ramadhan, maka mereka boleh tidak puasa dan harus memberi makan orang miskin untuk tiap hari yang dia tinggalkan serta TIDAK PERLU MENGQADLA.” (Tafsir Ath-Thabari, juz 3 hal. 427, nomor riwayat: 2758. Al-Albani mengomentari riwayat ini dalam Irwa` Al-Ghalil, juz 4 hal. 19, “Sanadnya shahih berdasarkan syarat Muslim”.).
Riwayat lain dari Ibnu Abbas ialah ketika dia melihat Ummu Walad (budak yang sudah melahirkan anak darinya) yang sedang hamil, maka dia berkata, ”Kamu ini sama dengan orang yang sukar melaksanakan puasa, maka kau boleh berbuka dan harus memberi makan orang miskin untuk setiap hari yang kau tinggalkan serta TIDAK ADA KEWAJIBAN MENGQADHA (PUASA) atas dirimu.” (Tafsir Ath-Thabari, no. 2759).
Adapun riwayat Ibnu Umar sanggup diperoleh dari Mushannaf Abdurrazzaq (juz 4, hal. 218) yang berkata, ”Dari Ma’mar, dari Ayyub, dari Nafi’, dari Ibnu Umar, perempuan hamil yang khawatir akan dirinya di bulan Ramadhan boleh berbuka tapi harus membayar fidyah dan tidak perlu mengqadha.”
Dan banyak lagi riwayat dari kedua sobat Nabi yang mulia ini dan shahih sebagaimana dijelaskan panjang lebar oleh Syekh Muhammad Nashiruddin Al-Albani dalam Irwa` Al-Ghalil juz 4, hal. 19-20.
Dalil pendapat ketiga Madzhab Syafi’i dan Hanbali bahwasanya sama dengan madzhab Hanafi yang meng-qiyas-kan perempuan hamil atau menyusui dengan orang sakit sehingga mereka wajib meng-qadha dan tidak berlaku pembayaran fidyah. Tapi mereka menambahkan bila keduanya khawatir akan keselamatan orang lain, dalam hal ini ialah janin atau bayi yang disusui yang kalau mereka puasa akan mengganggu kenyamanan si bayi, maka ada kewajiban lain yaitu harus membayar fidyah karena batal puasa gara-gara menyelamatkan orang lain.
Setelah membaca dari beberapa literatur madzhab ini terutama kitab Al-Mughni maka bahwasanya mereka menggabung qiyas antara perempuan hamil dan menyusui dengan orang sakit sehingga wajib qadha dan meng-qiyas-kan pula keduanya dengan orang renta yang tak sanggup puasa sehingga wajib membayar fidyah. Dalam ushul fikih qiyas semacam ini biasanya dinamakan qiyas syabh.
Dalil pendapat keempat Pendapat yang membedakan antara perempuan hamil dan menyusui beralasan bahwa perempuan hamil di-qiyas-kan murni (qiyas taam) kepada orang sakit, sedangkan menyusui alasannya sama dengan alasan madzhab Syafi’i dan Hanbali.
Catatan: (rujukan https://www.facebook.com/notes/anshari-taslim/wanita-hamil-dan-menyusui-qadha-puasa-atau-bayar-fidyah/99618956418/)
Para pekerja berat yang mengakibatkan ia tidak berpengaruh berpuasa, boleh berbuka, dengan catatan bahwa:
*Perihal orang yang kesehariannya bekerja agak berat, Syekh Said Muhammad Ba’asyin dalam Busyrol Karim mengatakan,
Catatan: (rujukan http://www.nu.or.id/post/read/69116/hukum-kewajiban-puasa-untuk-para-pekerja-berat)
PENTING: artikel 5 Kriteria Dispensasi Puasa Ramadhan Sesuai Al-Qur'an dan Hadis hanya sebagai tumpuan terbuka. Jika Anda ingin menciptakan dan memutuskan sebagai sumber aturan dalam syariat Islam sebaiknya Anda berkonsultasi kepada ahlinya.
اَلْإِمْسَاكُ عَنِ الْأَكْلِ وَالشَّرَبِ وَغِشَْانِالنَّسَاءِ مِنَ الْفَجْرِ إِلَى الْمَغْرِِبِ إِِحْتِسَابًا للّهِ وَإِِعْدَادًا لِلنَّفْسِ وَتَهَيْءَةً لَهَا لِتَقْوَى اللّهِ بِالْمُرَاقَبَةِ وَتَرْبِيَّةِ الْإِرَادَةِ
Artinya: "Menahan makan, minum dan bersetubuh, mulai dari fajar hingga maghrib (terbenam matahari) karena mengharap ridha Allah dan untuk menyiapkan diri bertaqwa kepada-Nya dengan jalan mendekatka diri dan mendidik (mengarahkan) kehendak". يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُواْ كُتِبَ عَلَيۡكُمُ ٱلصِّيَامُ كَمَا كُتِبَ عَلَى ٱلَّذِينَ مِن قَبۡلِكُمۡ لَعَلَّكُمۡ تَتَّقُونَ ١٨٣
Artinya: "Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kau berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kau semoga kau bertakwa" (Q.S. Al Baqarah:183).Puasa Ramadhan mulai disyariatkan/diwajibkan oleh Allah SWT pada tanggal 10 Sya'ban tahun ke-2 Hijriyah.
Silahkan baca juga 4 Dasar Problematika Puasa Ramadhan yang biasanya kerap sekali muncul setiap tahun menjelang puasa.
Kewajiban melaksanakan ibadah puasa di bulan Ramadhan berlaku bagi setiap muslim yang Mukallaf, yaitu muslim yang sudah remaja (baligh) dan cendekia sehat ('aqil). Akan tetapi ada beberapa orang yang menerima keringanan (keringanan) boleh tidak berpuasa, dengan ketentuan;
1. Orang sakit dan orang dalam perjalanan (bepergian)*
gambar hanya ilusrtasi |
فَمَن كَانَ مِنكُم مَّرِيضًا أَوۡ عَلَىٰ سَفَرٖ فَعِدَّةٞ مِّنۡ أَيَّامٍ أُخَرَۚ
Artinya: "Maka barangsiapa diantara kau ada yang sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa) sebanyak hari yang ditinggalkan itu pada hari-hari yang lain". (Q.S. Al Baqarah:184).
وَ) يُبَاحُ تَرْكُهُ ( لِلْمُسَافِرِ سَفَرًا طَوِيلا مُبَاحًا ) فَإِنْ تَضَرَّرَ بِهِ فَالْفِطْرُ أَفْضَلُ وَإِلا فَالصَّوْمُ أَفْضَلُ كَمَا تَقَدَّمَ فِي بَابِ صَلاةِ الْمُسَافِرِ . ( وَلَوْ أَصْبَحَ ) الْمُقِيمُ ( صَائِمًا فَمَرِضَ أَفْطَرَ ) لِوُجُودِ الْمُبِيحِ لِلإِفْطَارِ . ( وَإِنْ سَافَرَ فَلا ) يُفْطِرُ تَغْلِيبًا لِحُكْمِ الْحَضَرِ وَقِيلَ يُفْطِرُ تَغْلِيبًا لِحُكْمِ السَّفَرِ . ( وَلَوْ أَصْبَحَ الْمُسَافِرُ وَالْمَرِيضُ صَائِمَيْنِ ثُمَّ أَرَادَا الْفِطْرَ جَازَ ) لَهُمَا لِدَوَامِ عُذْرِهِمَا . ( فَلَوْ أَقَامَ ) الْمُسَافِرُ ( وَشُفِيَ ) الْمَرِيضُ ( حَرُمَ ) عَلَيْهِمَا ( الْفِطْرُ عَلَى الصَّحِيحِ ) لِزَوَالِ عُذْرِهِمَا وَالثَّانِي يَجُوزُ لَهُمَا الْفِطْرُ اعْتِبَارًا بِأَوَّلِ الْيَوْمِ
“Dan dibolehkan meninggalkan berpuasa bagi seorang musafir dengan perjalan yang jauh dan diperbolehkan (mubah). Bila dengan berpuasa seorang musafir mengalami mudarat maka berbuka lebih utama, bila tidak maka berpuasa lebih utama sebagaimana telah lewat penjelasannya pada pecahan shalatnya musafir. Bila pada pagi hari seorang yang bermukim berpuasa kemudian ia sakit maka ia diperbolehkan berbuka karena adanya alasan yang membolehkannya berbuka. Namun bila orang yang mukim itu melaksanakan perjalanan maka ia tidak dibolehkan berbuka dengan memenangkan aturan bagi orang yang tidak bepergian. Dikatakan juga ia boleh berbuka dengan memenangkan aturan bagi orang yang bepergian. Bila seorang musafir (orang sudah dalam keadaan pergi) dan orang yang sakit pada pagi hari berpuasa kemudian menghendaki untuk berbuka maka dibolehkan bagi keduanya untuk berbuka karena berlanjutnya alasan keduanya untuk tidak berpuasa. Bila seorang musafir telah bermukim dan seorang yang sakit telah sembuh maka haram bagi keduanya berbuka berdasarkan pendapat yang sahih alasannya ialah sudah hilangnya alasan untuk tidak berpuasa. Pendapat kedua membolehkan keduanya berbuka dengan mempertimbangkan keadaan di awal hari.” (Jalaludin Al-Mahali, Kanzur Raghibin Syarh Minhajut Thalibin [Kairo: Darul Hadis, 2014], juz 2, hal. 161)Penjelasan serupa juga disampaikan oleh Syekh Muhammad Khatib As-Syarbini dalam kitabnya Mughnil Muhtaj. Hanya saja ia menambahkan penjelasan:
وَلَوْ نَوَى وَسَافَرَ لَيْلًا، فَإِنْ جَاوَزَ قَبْلَ الْفَجْرِ مَا اُعْتُبِرَ مُجَاوَزَتُهُ فِي صَلَاةِ الْمُسَافِرِ أَفْطَرَ، وَإِلَّا فَلَا
“Bila seseorang berniat puasa dan melaksanakan perjalanan pada malam hari, bila sebelum terbitnya fajar ia telah melewati batasan yang ditetapkan dalam pecahan shalatnya musafir maka ia boleh berbuka, bila tidak maka tidak boleh berbuka.” (Muhammad Khatib As-Syarbini, Mughnil Muhtaj [Beirut: Darul Fikr, 2009], juz 1, hal. 589).Catatan: (rujukan http://www.nu.or.id/post/read/78797/aturan-fiqih-tidak-berpuasa-bagi-musafir)
- Perjalanan yang dilakukan menempuh jarak perjalanan yang membolehkan mengqashar shalat. Perjalanan yang dilakukan ialah perjalanan yang mubah, bukan perjalanan untuk melaksanakan suatu kemaksiatan.
- Perjalanannya dilakukan pada malam hari dan sebelum terbit fajar (waktu subbuh) telah melewati batas kawasan tempat tinggalnya, dalam konteks wilayah Indonesia ialah batas kelurahan.
- Bila ia pergi sesudah terbitnya fajar maka ia tidak diperbolehkan berbuka dan wajib berpuasa penuh pada hari itu.
- Seorang musafir (yang dalam keadaan melaksanakan perjalanan sebagaimana syarat-syarat di atas) yang pada waktu pagi hari berpuasa diperbolehkan berbuka membatalkan puasanya.
- Seorang musafir yang telah bermukim di suatu tempat dihentikan berbuka (tidak berpuasa).
2. Orang yang kondisi badannya lemah
gambar hanya ilustrasi |
وَعَلَى ٱلَّذِينَ يُطِيقُونَهُۥ فِدۡيَةٞ طَعَامُ مِسۡكِينٖۖ
Artinya: "Dan wajib bagi orang-orang yang berat menjalankannya (jika mereka tidak berpuasa) membayar fidyah, (yaitu): memberi makan seorang miskin". (Q.S. Al Baqarah:184).*Al Muntaqo min Fatawa Syaikh Sholih Al Fauzan, 3/140. Dinukil dari Fatwa Al Islam Sual wa Jawab no. 66886. Mengatakan, “Mengeluarkan fidyah tidak sanggup digantikan dengan uang. Fidyah hanya boleh dengan menyerahkan kuliner yang menjadi kuliner pokok di kawasan tersebut. Kadarnya ialah setengah sho’ dari kuliner pokok yang ada yang dikeluarkan bagi setiap hari yang ditinggalkan. Setengah sho’ kira-kira 1½ kg. Jadi, tetap harus menyerahkan berupa kuliner sebagaimana ukuran yang kami sebut. Sehingga sama sekali tidak boleh dengan uang. Karena Allah Ta’ala berfirman (yang artinya), “Membayar fidyah dengan memberi makan pada orang miskin.” Dalam ayat ini sangat terang memerintah dengan makanan.”
Ulama Malikiyah dan Syafi’iyah beropini bahwa kadar fidyah ialah 1 mud bagi setiap hari tidak berpuasa. Ini juga yang dipilih oleh Thowus, Sa’id bin Jubair, Ats Tsauri dan Al Auza’i. Sedangkan ulama Hanafiyah beropini bahwa kadar fidyah yang wajib ialah dengan 1 sho’ kurma, atau 1 sho’ sya’ir (gandum) atau ½ sho’ hithoh (biji gandum). Ini dikeluarkan masing-masing untuk satu hari puasa yang ditinggalkan dan nantinya diberi makan untuk orang miskin.
Beberapa ulama belakangan menyerupai Syaikh Ibnu Baz, Syaikh Sholih Al Fauzan dan Al Lajnah Ad Daimah lil Buhuts Al ‘Ilmiyyah wal Ifta’ (Komisi Fatwa Saudi Arabia) menyampaikan bahwa ukuran fidyah ialah setengah sho’ dari kuliner pokok di negeri masing-masing (baik dengan kurma, beras dan lainnya). Mereka mendasari ukuran ini berdasarkan pada anutan beberapa sobat di antaranya Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma. Ukuran 1 sho’ sama dengan 4 mud. Satu sho’ kira-kira 3 kg. Setengah sho’ kira-kira 1½ kg.
Catatan: (rujukan https://rumaysho.com/1140-cara-pembayaran-fidyah-puasa.html)
3. Perempuan yang sedang haid (menstruasi) dan Melahirkan (Nifas)
gambar hanya ilustrasi |
(كُنَّا نَحِيْضُ على عَهْدِ رسول اللّه صلى اللّه عليه وسلم فَنُوءْمَرُبِقَضَاءِ الصَّوْمِ وَلَا نُوءْمَرُبِقَضَاءِ الصَّلَاةِ (رواه الشيخان عن عائشة
Artinya: "Kami kaum perempuan yang tiba bulan (menstruasi) pada zaman Rasulullah saw. diperintahkan untuk mengqadla (mengganti) puasa dan tidak diperintahkan mengqadla shalat". (H.R. bukhari Muslim dari Aisyah)4. Perempuan yang sedang hamil dan menyusui (murdli')*
gambar hanya ilustrasi |
Bagi perempuan yang sedang hamil dan menyusui boleh tidak berpuasa, tetapi wajib qadla, demikian itu apabila alasan tidak berpuasa karena menghawatirkan dirinya dan anaknya. Akan tetapi bila berbukanya karena menghawatirkan janin atau anaknya saja, maka selain mengqadla, juga harus membayar fidyah (memberi makan fakir miskin setiap hari 3/4 liter beras).
*Para ulama berbeda pendapat dalam persoalan ini, secara garis besar ada empat pandangan:
- Keduanya harus mengganti puasa dan tidak perlu membayar fidyah. Ini ialah pendapat madzhab Hanafi, Abu Tsaur dan Abu Ubaid. (Lihat: Al-Hidayah syarh Al-Bidayah, juz 1 hal. 128, Bidayatul Mujtahid, juz 1 hal. 506).
- Keduanya harus membayar fidyah dan tak perlu mengganti puasa. Ini ialah pendapat Ibnu Abbas ra, Ibnu Umar ra, Sa’id bin Jubair, Qatadah
- Bila dia hanya khawatir akan dirinya saja maka dia harus mengqadha, tapi bila mengkhawatirkan pula keselamatan bayinya kalau berpuasa maka dia harus mengqadha plus membayar fidyah. Ini ialah pendapat madzhab Syafi’i dan Hanbali.
- Wanita hamil hanya boleh mengqadha dan tidak membayar fidyah, sedangkan perempuan menyusui yang khawatir akan anaknya harus mengqadha plus membayar fidyah. Ini ialah pendapat madzhab Maliki.
Dalil pendapat pertama ialah meng-qiyas-kan perempuan hamil dan atau menyusui dengan orang sakit. Orang sakit boleh tidak puasa dan harus meng-qadha (mengganti) di hari lain sebagaimana terang dalam Al-Qur`an surah Al-Baqarah ayat 184 dan 185.
Dalil pendapat kedua ialah anutan dua orang sobat Nabi SAW, terutama bagi madzhab yang menganggap bahwa anutan sobat itu menjadi salah satu dasar aturan bila tidak ada nash yang sharih.
Riwayat Ibnu Abbas sanggup ditemukan dalam Sunan Ad-Daraquthni, Tafsir Ath-Thabari dan lain-lain. Ibnu Abbas berkata, ”Bila seorang perempuan hamil khawatir akan dirinya dan perempuan menyusui khawatir akan bayinya di bulan Ramadhan, maka mereka boleh tidak puasa dan harus memberi makan orang miskin untuk tiap hari yang dia tinggalkan serta TIDAK PERLU MENGQADLA.” (Tafsir Ath-Thabari, juz 3 hal. 427, nomor riwayat: 2758. Al-Albani mengomentari riwayat ini dalam Irwa` Al-Ghalil, juz 4 hal. 19, “Sanadnya shahih berdasarkan syarat Muslim”.).
Riwayat lain dari Ibnu Abbas ialah ketika dia melihat Ummu Walad (budak yang sudah melahirkan anak darinya) yang sedang hamil, maka dia berkata, ”Kamu ini sama dengan orang yang sukar melaksanakan puasa, maka kau boleh berbuka dan harus memberi makan orang miskin untuk setiap hari yang kau tinggalkan serta TIDAK ADA KEWAJIBAN MENGQADHA (PUASA) atas dirimu.” (Tafsir Ath-Thabari, no. 2759).
Adapun riwayat Ibnu Umar sanggup diperoleh dari Mushannaf Abdurrazzaq (juz 4, hal. 218) yang berkata, ”Dari Ma’mar, dari Ayyub, dari Nafi’, dari Ibnu Umar, perempuan hamil yang khawatir akan dirinya di bulan Ramadhan boleh berbuka tapi harus membayar fidyah dan tidak perlu mengqadha.”
Dan banyak lagi riwayat dari kedua sobat Nabi yang mulia ini dan shahih sebagaimana dijelaskan panjang lebar oleh Syekh Muhammad Nashiruddin Al-Albani dalam Irwa` Al-Ghalil juz 4, hal. 19-20.
Dalil pendapat ketiga Madzhab Syafi’i dan Hanbali bahwasanya sama dengan madzhab Hanafi yang meng-qiyas-kan perempuan hamil atau menyusui dengan orang sakit sehingga mereka wajib meng-qadha dan tidak berlaku pembayaran fidyah. Tapi mereka menambahkan bila keduanya khawatir akan keselamatan orang lain, dalam hal ini ialah janin atau bayi yang disusui yang kalau mereka puasa akan mengganggu kenyamanan si bayi, maka ada kewajiban lain yaitu harus membayar fidyah karena batal puasa gara-gara menyelamatkan orang lain.
Setelah membaca dari beberapa literatur madzhab ini terutama kitab Al-Mughni maka bahwasanya mereka menggabung qiyas antara perempuan hamil dan menyusui dengan orang sakit sehingga wajib qadha dan meng-qiyas-kan pula keduanya dengan orang renta yang tak sanggup puasa sehingga wajib membayar fidyah. Dalam ushul fikih qiyas semacam ini biasanya dinamakan qiyas syabh.
Dalil pendapat keempat Pendapat yang membedakan antara perempuan hamil dan menyusui beralasan bahwa perempuan hamil di-qiyas-kan murni (qiyas taam) kepada orang sakit, sedangkan menyusui alasannya sama dengan alasan madzhab Syafi’i dan Hanbali.
Catatan: (rujukan https://www.facebook.com/notes/anshari-taslim/wanita-hamil-dan-menyusui-qadha-puasa-atau-bayar-fidyah/99618956418/)
5. Para pekerja berat*
gambar hanya ilustrasi |
- Apa yang dilakukan ialah bekerja yang sangat berat, sehingga puasa akan mengancam kelangsungan fungsi-fungsi tubuh.
- Kerja berat itu dibutuhkan untuk menjaga kelangsungan hidupnya pada hari itu, sehingga tidak sanggup ditinggalkan sama sekali.
- Pekerjaan berat itu tidak sanggup dilakukan diluar waktu puasa.
*Perihal orang yang kesehariannya bekerja agak berat, Syekh Said Muhammad Ba’asyin dalam Busyrol Karim mengatakan,
ويلزم أهل العمل المشق في رمضان كالحصادين ونحوهم تبييت النية ثم من لحقه منهم مشقة شديدة أفطر، وإلا فلا. ولا فرق بين الأجير والغني وغيره والمتبرع وإن وجد غيره، وتأتي العمل لهم العمل ليلا كما قاله الشرقاوي. وقال في التحفة إن لم يتأت لهم ليلا، ولو توقف كسبه لنحو قوته المضطر إليه هو أو ممونه علي فطره جاز له، بل لزمه عند وجود المشقة الفطر، لكن بقدر الضرورة. ومن لزمه الفطر فصام صح صومه لأن الحرمة لأمر خارج، ولا أثر لنحو صداع ومرض خفيف لا يخاف منه ما مر.
Artinya, “Ketika memasuki Ramadhan, pekerja berat menyerupai buruh tani yang membantu penggarap dikala panen dan pekerja berat lainnya, wajib memasang niat puasa di malam hari. Kalau kemudian di siang hari menemukan kesulitan dalam puasanya, ia boleh berbuka. Tetapi kalau ia merasa kuat, maka ia boleh tidak membatalkannya".Catatan: (rujukan http://www.nu.or.id/post/read/69116/hukum-kewajiban-puasa-untuk-para-pekerja-berat)
PENTING: artikel 5 Kriteria Dispensasi Puasa Ramadhan Sesuai Al-Qur'an dan Hadis hanya sebagai tumpuan terbuka. Jika Anda ingin menciptakan dan memutuskan sebagai sumber aturan dalam syariat Islam sebaiknya Anda berkonsultasi kepada ahlinya.
0 Response to "5 Kriteria Keringanan Puasa Ramadhan Sesuai Al-Qur'an Dan Hadis"
Posting Komentar