4 Dasar Problematika Puasa Ramadhan

Ramadhan merupakan bulan yang penuh keberkahan, bulan yang dibukakan pintu ampunan bagi seseorang. Setiap muslim menyambutnya dengan suka cita kedatangannya. Bulan suci ini sungguh berbeda dengan bulan yang lainnya lantaran bulan Ramadahan memperlihatkan kesempatan kepada kita secara istimewa dengan kualitas nurani dan fitrah. Kesucian Ramadhan sangat bergantung bagaimana tingkat upaya seseorang dalam mensucikan dirinya dengan ragam pembinaan selama sebualn penuh. Tanpa kesiapan diri se-mualia dan se-istimewah apapun bulan Ramadhan tidak akan berarti bagi kita.
Ramadhan merupakan bulan yang penuh keberkahan 4 Dasar Problematika Puasa Ramadhan
Terkait pelaksanaan ibadah puasa di bulan Ramadhan, ada beberapa hal yang perlu menerima perhatian, diantaranya adalah:

1. Penetapan awal dan tamat Ramadhan

Kewajiban menunaikan ibadah puasa di bulan Ramadhan dimulai semenjak ketika bulan Ramadhan telah tiba. Ada tiga alternatif metode untuk menetapkan awal suatu bulan qamariyah, yaitu ru'yah, hisab dan istikmal. Hisab artinya menghitung berdasarkan teori dan rumus tertentu untuk menghitung peredaran bulan, sehingga diyakini bahwa awal bulan berdasarkan perhitungan teoritis itu sama dengan kenyataan alam. Ru'yah yaitu melihat hilal (bulan tanggal pertama). Artinya penetapan awal bulan di dasarkan pada ada atau tidaknya hilal yang bisa dilihat dengan mata (baik pribadi maupun dengan alat bantu). Sedangkan Istikmal yaitu menyempurnakan jumlah hari suatu bulan hingga tiga puluh hari sebelum memulai bulan baru.

Mayoritas ulama salaf (jumhur as-salaf) beropini bahwa penetapan (isbat) awal bulan Ramadhan dan Syawal hanya boleh dengan cara ru'yah. Jika ru'yah tidak bisa dilakukan lantaran terhalang mendung misalnya, maka dipakai metode istikmal. Dalam kontek ini, istikma merupakan metode lanjutan ketika ru'yah tidak melihat atau menemukan bulan. Metode ini sesuai dengan hadis Rasulullah saw.
صُومُوا لِرُؤْيَتِهِ وَأَفْطِرُوا لِرُؤْيَتِهِ فَإِنْ غُبِّيَ عَلَيْكُمْ فَأَكْمِلُوا عِدَّةَ شَعْبَانَ ثَلَاثِينَ
Artinya : "Berpuasalah kau lantaran melihat hilal (hilal ramadhan), dan berbukalah kau (tidak berpuasa lagi) lantaran melihatnya. Apabila kau tidak melihatnya lantaran mendung, sempurnakanlah hitungan Sya'ban hingga tiga puluh hari" (H.R. Bukhari dan Muslim)

Sedangkan Hisab merupakan pendampingan yang dipergunakan sekedar untuk memperkirakan (secara teoritik) apakah ru'yah sanggup dilakukan atau tidak. Adapun hasil ahirnya tetap di dasarkan pada hasil ru'yah langsung.

Ketentuan (ru'yatul hilal) tidak perlu dilakukan sendiri-sendiri oleh umat Islam. Tetapi cukup hanya dengan mengikuti gosip proses dan hasil ru'yah yang di negeri kita tercinta ini banyak dilakukan, baik oleh pribadi maupun organisasi. Sekedar diketahui bahwa Rasulullah saw. pernah mendapatkan dan mengikuti legalisasi ru'yah dari seorang Baduwi (orang awam).

Disamping itu hasil ru'yah tidak berlaku dalam skala global. Ia hanya berlaku untuk di daerah, wilayah maupun negara yang berdekatan saja. Karena itu, awal bulan Ramadhan di indonesia bisa saja berbeda dengan di Saudi Arabia, misalnya. Hasil ru'yah di kedua negara inipun berbeda.

Perlu diketahui bahwa penetapan awal dan tamat Ramadhan ini merupakan duduk kasus furu'iyah yang dimana duduk kasus ini masih boleh berbeda pendapat. Sedangkan melaksanakan ibadah puasanya merupakan maslah ushuliyah tidak boleh beda pendapat yang mana semua umat Islam wajib menjalankannya.

2. Niat berpuasa Ramadhan

Niat yaitu keyakinan (i'tikad) tanpa ragu untuk melaksanakan amal ibadah. Niat yaitu ruh amal, sehingga suatu amal akan dicatat sebagai amal yang saleh, atau tidak sangat bergantung pada niatnya. Mengingat begitu pentingnya kedudukan niat, sudah semestinya kita berhati-hati dan memperhatikan bagaimana supaya niat kita sah, sehingga ibadah kita juga menjadi sah.

Disamping itu perlu diketahui bahwa ibadah itu ada dua macam, yaitu;
  1. Ibadah Mahdlah ialah ibadah yang murni atau ibadah semata-mata sebagai ritual keagamaan. Ibadah ini jikalau dilaksanakan wajib melaksanakan niat sebagai rukun ibadah itu, menyerupai ibadah shalat, puasa, haji dan lain sebagainya.
  2. Ibadah Ghairu Mahdlah atau ibadah pada umumnya. melaksanakan ibadah ini tidak memerlukan niat, menyerupai muamalah dan lain sebagainya.
Dalam hal puasa Ramadhan, keabsahan niat berdasarkan jumhur ulama ditentukan dengan syarat-syarat sebagai berikut;
  1. Niat harus dilakukan pada waktunya, yaitu antara maghrib hingga menjelang subuh untuk puasa yang dilakukan besok. Dalam kitab fiqih ketentuan ini lazim disebut "tabyit an-niyyah" atau menginapkan niat.
  2. Menentukan niat tersebut untuk puasa wajib (Ramadhan), bukan puasa sunnah atau puasa dengan maksud-maksud lain.
  3. Memastikan niat (Al-jazm bi an-niyyah) untuk satu jenis puasa saja, sebagai teladan jikalau pada tanggal 29 Sya'ban seseorang berniat untuk berpuasa besok,, dengan catatan jikalau besok sudh msuk bulan Ramadhan maka ia berpuasa Ramadhan dan jikalau belum masuk, maka puasanya dimaksudkan sebagai puasa sunnah. Niat semacam ini tidak sah, baik bagi puasa Ramadhan maupun puasa sunnah.
  4. Niat dilakukan setiap hari sesuai dengan bilangan hari Ramadhan (ta'addud an-niyyah bi ta'addud al-ayyam). Satu kali niat hanya berlaku untuk satu kali puasa, lantaran setiap hari puasa yaitu ibadah tersendiri yang tidak berafiliasi atau terkait dengan hari puasa yang lain.
Jelasnya, puasa Ramadhan harus disertai niat yang waktunya antara maghrib hingga menjelang subuh. Kapan saja terbesit di dalam hati di waktu malam bahwa besok yaitu Ramadhan dan akan berpuasa, maka itulah niat. Imam Syafi'i beropini bahwa makan sahur tidak dengan sendirinya sanggup menggantikan kedudukan niat, kecuali apabila terbesit (khathara) dalam hatinuya maksud untuk berpuasa. Berbeda dengan madzhab yang lain yang menganggap cukup makan dan minum di luar waktu sahur yang disertai dengan niat puasa, atau makan pada waktu sahur meskipun tanpa niat.

3. Sanksi bagi suami istri yang berkumpul (jima') di siang hari pada puasa Ramadhan

Berpuasa intinya yaitu menghindari segala hal yang sanggup membatalkan (mubthilat) puasa. Ada beberapa hal yang membatalkan puasa Ramadhan dan bermacam-macam pula konsekwensinya. Ada yang sekedar harus meng-qadla' (mengganti di hari lain), tetapi ada pula yang menjadikan hukuman berat. Terhitung terkena hukuman yang berat yaitu bersenggama (jima') baik dengan ejakulasi (inzal) atau tidak. dasar aturan dari hukuman ini yaitu sebuah hadis yang diriwayatkan dari sobat Abu Hurairah;
وَعَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ: جَاءَ رَجُلٌ إِلَى اَلنَّبِيِّ فَقَالَ: هَلَكْتُ يَا رَسُولَ اَللَّهِ. قَالَ, " وَمَا أَهْلَكَكَ? " قَالَ: وَقَعْتُ عَلَى اِمْرَأَتِي فِي رَمَضَانَ، فَقَالَ, " هَلْ تَجِدُ مَا تَعْتِقُ رَقَبَةً? " قَالَ: لَا. قَالَ, " فَهَلْ تَسْتَطِيعُ أَنْ تَصُومَ شَهْرَيْنِ مُتَتَابِعَيْنِ? " قَالَ: لَا. قَالَ, " فَهَلْ تَجِدُ مَا تُطْعِمُ سِتِّينَ مِسْكِينًا? " قَالَ: لَا, ثُمَّ جَلَسَ, فَأُتِي اَلنَّبِيُّ بِعَرَقٍ فِيهِ تَمْرٌ. فَقَالَ, " تَصَدَّقْ بِهَذَا ", فَقَالَ: أَعَلَى أَفْقَرَ مِنَّا? فَمَا بَيْنَ لَابَتَيْهَا أَهْلُ بَيْتٍ أَحْوَجُ إِلَيْهِ مِنَّا, فَضَحِكَ اَلنَّبِيُّ حَتَّى بَدَتْ أَنْيَابُهُ، ثُمَّ قَالَ, "اذْهَبْ فَأَطْعِمْهُ أَهْلَكَ " رَوَاهُ اَلسَّبْعَةُ, وَاللَّفْظُ لِمُسْلِمٍ
Artinya: "Dari Abu Hurairah r.a. dia berkata: "Seseorang pria tiba menghadap Rasulullah s.a.w. dan berkata, "ya Rasulullah saya celaka". Nabi bertanya;"Apa yang telah membuatmu celaka?" Jawabnya; "Aku telah bersetubuh dengan istriku di bulan Ramadhan". Kemudian Nabi bertanya, "Adakah padamu sesuatu untuk memerdekakan budak?" Jawabnya,, "tidak". Tanya Nabi, "Apakah kau bisa berpuasa dua bulan berturut-turut?. Jawabnya, "tidak". Nabi bertanya kembali. "Apakah kau memiliki masakan untuk diberikan kepada 60 orang fakir miskin?" Jawabnya, "tidak". Kemudian Nabi menyuruhnya untuk duduk (menunggu) dan dibawakan kepadanya satu keranjang kecil berisi kurma, lalu bersabda: "Sedekahkanlah ini". Lelaki itu bertanya, Apakah kepada orang yang lebih miskin dariku?, Tidak ada penghuni rumah dimana saya tinggal yang lebih memerlukan (yang lebih miskin) dari pada aku. Maka Nabi s.a.w. tertawa hingga terlihat gigi dia dan bersabda; "Pulanglah dan berikan ini kepada keluargamu" (H.R. Jama'ah).

Hadis diatas memperlihatkan bahwa bagi orang yang membatalkan puasanya lantaran bersetubuh, wajib membayar Kaffarah yang bentuknya secara berurutan telah dijelaskan oleh Rasulullah saw. yaitu; memerdekakan budak, puasa dua bulan berturut-turut,, dan memberi makan 60 fakir miskin. Ketiga jenis kaffarah ini tidak bisa dipilih begitu saja, tetapi berlaku berurutan.

Karena zaman kini ini hukuman pertama tidak berlaku (karena tidak ada perbdakan), dengan sendirinya pelakunya harus berpuasa dua bulan berturut-turut. Jika lantaran karena yang dibenarkan syariat eksekusi ini mustahil dilakukan, gres sanggup ditempuh dengan hukuman yang terahir berupa pertolongan paket masakan kepada 60 orang miskin, masing-masing 1 mud (lebih kurang 6 ons) materi masakan pokok.

Kaffarah tersebut diatas berlaku antara lain jikalau korelasi sebadan (jima') dengan istri itu yang menjadikan batalnya puasa. Jika sebelumnya puasanya sudah batal atau dibatalkan, maka kaffarah diatas tidak berlaku. Akan tetapi hal itu tidak berarti sanksinya menjadi lebih ringan, lantaran meninggalkan atau membatalkan puasa tanpa alasan yang dibenarkan syariat yaitu dosa besar. Dalam sebuah hadis yang diriwayatkan Imam Turmudzi, Rasulullah s.a.w. bersabda:
مَنْ أَفْطَرَ يَوْمًا مِنْ رَمَضَانَ مِنْ غَيْرِ رُخْصَةٍ وَلَا مَرضٍ لَمْ يَقْضِ عَنْهُ صَوْمُ الّدَهْرِِ كُلَّهُ وَاِنْ صَامَهُ 
Artinya: "Barang siapa membatalkan puasa satu hari dari bulan Ramadhan tanpa adanya dispensasi (rukhshah) dan bukan lantaran sakit, maka puasanya sepanjang tahun tidak cukup sebagai gantinya sekalipun ia mengerjakannya"

4. Cara mengqadla puasa

Orang yang meninggalkan puasa Ramadhan lantaran uzur (alasan) yang diperbolehkan oleh agama, wajib mengqadla puasa Ramadhan sanggup dilakukan kapan saja sebelum tiba Ramadhan tahun berikutnya, kecuali pada hari-hari yang dihentikan berpuasa. Apabila hingga pada bulan berikutnya ia belum mengqadla puasanya, padahal ia bisa melakukannya, maka selain berkewajiban mengqadla, ia harus membayar fidyah. Jika pada bulan Ramadhan berikutnya lagi masih belum juga dilakukan, maka fidyahnya ditambah lagi, dan begitu seterusnya. Demikian keterangan dalam kitab "Minhaj Ath-Thalibin" dan kitab-kitab fiqih lainnya. Disamping itu, mengqadla puasa Ramadhan tidak harus dilakukan secara berturut-turut dan bisa dilakukan terpisah.

0 Response to "4 Dasar Problematika Puasa Ramadhan"

Posting Komentar

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel